The Journey of DEATH VOMIT to Vomitting the World

JOGJAKARTA..... sebuah kota istimewa dengan basis kebudayaannya yang sangat kental. Satu-satunya daerah di Indonesia dengan sistem kekeratonannya yang eksis sampai sekarang. Siapa sangka di kota yang terkenal dengan manusia bertutur kata dan berbudi halus ini menyimpan legenda band brutal beraliran death metal yaitu DEATH VOMIT!!! 20 tahun bukanlah perjalanan yang pendek bagi sebuah band death metal. Prestasi demi prestasi terus ditorehkan Devo bukan hanya di dalam negeri tapi juga secara internasional.

 Death Vomit at Hammersonic 2015 (copyright Adi S)
                                 
Bagi yang belum tahu sejarah perjalanan Devo, saya coba review sedikit. Devo sendiri dibentuk tahun 1995 silam dengan personil Dede (vokal) Wilman (gitar), Ary (bass) dan Roy (drum). Death metal memang sudah jadi pilihan sejak awal dalam mereka bermusik. Tapi posisi Dede tidak lama karena dia harus pulang ke Bali, selanjutnya Agung masuk mengisi posisi vokal. Prestasi pertama adalah diliriknya Devo untuk mendukung album kompilasi METAL KLINIK I tahun 1997 yang digagas Krisna J. Sadrach yang legendaris itu. Tentu saja keberadaan Devo makin diperhitungkan di kancah musik metal negeri ini. Tahun 1998 terjadi pergantian personil yaitu gitaris Wilman digantikan oleh Sofyan Hadi.


Formasi baru ini seolah merupakan sumber kekuatan baru yang akhirnya memuntahkan album perdana mereka yang didistribusikan secara independen pada tahun 1999 yang bertitel ETERNALLY DEPRECATED (Demented Mind Record). Kemudian sebuah label indie Bandung yaitu Extreme Soul Production tertarik untuk merilis ulang album tersebut yang berakibat terdongkraknya penjualannya. Pada tahun 2000 Death Vomit berkabung karena meninggalnya Agung sang vokalis. Situasi ini tidak menyurutkan langkah mereka dan Sofyan mengambil alih posisi vokalis sekaligus merangkap gitaris. Perubahan personil terjadi lagi pada tahun 2002 dengan keluarnya bassis Ary dan segera digantikan oleh Oki Hariwibowo. Posisi trio ini masih langgeng sampai sekarang dan merupakan kekuatan tersendiri yang dahsyat.
  
Kedahsyatan Devo sampai pula terdengar label metal Jakarta yaitu Rottrevore Record yang sudah banyak menelurkan rekaman-rekaman band metal di Indonesia. Kembali prestasi ditorehkan di tahun 2006 dengan dirilisnya album keren THE PROPHECY oleh Rottrevore Record. Tak lama kemudian dirilis pula DVD live yang diberi titel FLAME OF HATE yang merupakan video konser band metal pertama di Indonesia (catat itu....).... awesome...!!! 

 Death Vomit ( courtesy of Corna Irawan )
Petualangan internasional mereka dimulai ketika tahun 2010 menggelar tur 6 kota di Australia dan berkesempatan berbagi panggung dengan legenda death metal dunia antara lain NAPALM DEATH dan DYING FETUS. Panggung-panggung festival metal lokal kelas internasional pun sudah mereka jelajahi antara lain Rock In Solo, Rock In Celebes dan Hammersonic sebanyak dua kali. Pada tanggal 6 dan 7 April 2013 kembali Devo menyayat publik dengan musik kematian di dua kota Malaysia yaitu Johor dan Kuala Lumpur. Sambutan luar biasa ditunjukkan metalhead negeri jiran saat itu. 

Sofyan Hadi berpose di antara koleksian saya...hehe
Satu pengalaman menarik bagi saya, saat bulan April 2012 mengundang sedulur saya Sofyan Hadi ke kediaman saya di Sintang sebagai juri Festival Klasik Rock yang saya adakan. Pada kesempatan itu di akhir acara Sofyan jamming dengan metalhead Sintang di panggung. Mereka tidak pernah mimpi bisa jamming satu panggung dengan musisi legenda death metal...hahaha... banyak yang merasa gemetaran saat itu. Sofyan dengan rendah hati juga sempat berbagi ilmu dengan mereka.

 tanpa gitar Sofyan jamming dengan metalhead Sintang
Sekitar pertengahan tahun 2013 saya dikirimi via inbox oleh Sofyan satu lagu demo untuk materi album baru Devo. Materi tersebut ganas banget meski masih ada sesuatu yang aneh di karakter sound-nya. Dan ternyata mereka memang masih belum sreg dengan hasil rekaman di salah satu studio milik musisi tradisional Jogja yang terkenal. Devo menginginkan sound death metal yang khas Jogja. Pertama saya agak bingung menterjemahkannya tapi akhirnya paham bahwa selama ini sound death metal yang umum ya ala Jakarta atau Bandung.... hehe... Melalui proses dan perjuangan panjang akhirnya album terakhir FORGING A LEGACY dirilis bulan November 2014 di bawah label Armstreich Record. Tidak pakai lama album ini menuai kesuksesan di bidang penjualan. Ternyata sebuah label indie dari Amerika yaitu Obscure Musick Record tertarik untuk merilis ulang album ini di akhir tahun 2015 ini. Sungguh prestasi luar biasa dari Death Vomit!!!

Kesuksesan Forging A Legacy membawa mereka ke petualangan selanjutnya. Devo diundang untuk menjadi head liner pada cara bertajuk UNLIMITED BLACK AIR di dua kota Jepang yaitu Osaka dan Tokyo. Reportasenya saya sajikan secara eksklusife berdasarkan tulisan CORNA IRAWAN yang mendampingi mereka selama konser di Jepang...... please check it out guyss.....

Suhu udara Osaka waktu itu mulai beranjak dingin, musim dingin memang mulai terasa di Jepang. Jam baru menunjukkan pukul 4 sore, namun langit kota Osaka sudah mulai gelap. Memang ketika musim dingin datang, malam datang semakin cepat di Jepang. Satu jam lagi perhelatan Unlimited Black Air ke 2 akan dimulai. Rangkaian konser dua kota tanggal 12 Desember 2015 di Osaka dan tanggal 13 Desember 2015 di Tokyo. Sebuah acara yang diagendakan tahunan, setelah pada satu tahun yang lalu juga digelar perhelatan yang sama di Tokyo. Acara ini dikomandoi oleh para personil Desecravity, sebuah band technical death metal asal Tokyo. Tahun 2015 ini terasa istimewa karena diselenggarakan di dua kota sekaligus, dan semakin istimewa karena salah satu band death metal legendaris Indonesia, Death Vomit ikut unjuk gigi di acara tersebut. 

courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Mendekati jam 5 sore, beberapa metalhead mulai berdatangan di venue, Namba Rocket, di wilayah Namba, Osaka. Mereka terlihat masih duduk-duduk di depan venue. Jika menilik dandanannya, beberapa dari mereka tidak terlihat seperti metal head, sebagian dari mereka masih berpakaian kerja, bahkan ada yang masih memakai dasi dengan rapi. Okelah, ini Jepang, dimana masyarakatnya dikenal sebagai pekerja, sehingga wajar jika mereka dari kantor langsung ke venue tanpa sempat pulang dulu.

Devo at Tokyo (courtesy of Corna Irawan)
Pola kerja yang rapi sudah mulai nampak saat soundchek siang tadi, jam 5 sore tepat acara dimulai. Dibuka oleh Quasidiploid, sebuah death metal band yang unik, vocalisnya cewek dan sesekali memainkan trompet ditengah-tengah lagu-lagu mereka. Beberapa lagu mengalir asik, dan penonton mulai terbawa suasanya. Giliran berikutnya, Gnosis, band dari Osaka yang terdiri dari lima anak muda. Mengalir dengan musik death metal masa kini ala Jepang. 

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Band ketiga, salah satu band yang menarik perhatian saya, Ega Cotail. Mereka memainkan musik tradisional death metal tapi dengan cara modern. Tempo musik yang sedang mengingatkan kita dengan band-band oldschool death metal namun memang Namba Rocket, Osaka tidak ditemukan unsur oldschool yang murni di musik mereka. Dan beruntung kami mendapat kenang-kenangan CD demo mereka untuk kami bawa pulang. Wold End Man menjadi penampil giliran berikutnya, sebuah band veteran asal Osaka. Mereka memproklamirkan musik mereka sebagai hardcore punk, terdiri dari lima personil yang sudah tidak bisa dikatakan muda (remaja) lagi. Musik mereka memang terlihat lebih matang dibanding band-band sebelumnya. Bersiap-siap di back stage, tiga pemuda Indonesia, Death Vomit mulai menyiapkan senjatanya.

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Sofyan Hadi terlihat mulai mengasah gitarnya, Oki Haribowo sudah mendentang-dentangkan senar bass-nya sebagai pemanasan, sementara Roy Agus terlihat gelisah sambil memainkan stick drumnya. Tiba giliran Death Vomit tampil, dengan dibantu personil Desecravity dan beberapa kru panggung lokal, dalam beberapa menit panggung Death Vomit telah siap ditata. Lampu mulai dipadamkan dan sayup-sayup mulai terdengar dentuman intro yang menggetarkan para penonton yang hadir di Namba Rocket. Tidak menunggu lama, para ksatria tanah jawa Yogyakarta ini mulai mengganas di panggung. Panggung langsung dihancurkan dengan lagu Evil Rise sebagai lagu pembuka. Tata lampu yang cenderung berwarna merah membuat panggung kian terasa suram. Tanpa diberi kesempatan untuk bernafas, penonton langsung dihajar dengan lagu kedua, Redemption yang mengalir deras bagai air tsunami di atas stage. 

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Setelah sempat menyapa penonton dengan sedikit ucapan dalam bahasa Jepang, anak-anak metal Jogja ini langsung melanjutkan misi penghancuran dengan lagu-lagu mereka. Memang sebagian besar diambil dari album terbaru mereka, Forging A Legacy dan para penontong semakin kalap melahap setiap lagu yang diluncurkan. Waktu berjalan begitu cepat, Transgression, Dark Ancient, Chained in Agony dan Emerged Rage mengalir mulus diselinggi teriakan-teriakan membahana Sofyan dan Oki mengajak para penonton semakin menggila. Terlebih saat cover lagu dari Slayer, Criminally Insane dimainkan, sambutan penonton kian panas. Beberapa penonton berambut panjang persis di depan panggung tak henti-hentinya berheadbang sepanjang konser. Sebagian lagi terutama para penonton yang masih berpakaian kerja terlihat lebih tenang dan memperhatikan anak-anak Death Vomit menggila di atas panggung. 

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Sejenak penonton dibiarkan sepi, lampu sedikit dipadamkan, lalu mulai terdengar intro seperti yang terdapat di awal album Forging A Legacy, ini pertanda lagu berikutnya adalah Decadence of Life. Mengalir dalam tempo sedang membuat penonton merasa nyaman untuk bergoyang-goyang. Namun itu tak berlangsung lama, kelar lagu itu langsung dihentak lagi dengan lagu Murder, dan ditutup dengan lagu lawas yang ada di album The Prophecy, Anthem to Hate. Selesai sudah tugas Death Vomit di hari pertama ini. Sebelum meninggalkan panggung mereka sempat berpamitan dengan penonton, membagi-bagikan pick gitar dan stick drum serta berfoto bersama. Salah satu kontributor Rolling Stone Indonesia Damasus Ekodimus, terlihat sibuk membidikkan kameranya sepanjang konser. 

Giliran berikutnya di penghujung acara, Desecravity, sang penggagas acara tampil di panggung. Yuichi Kudo sang drummer, Daisuke Ichiboshi sebagai pendentum bass dan Shogo Tokita vocalis sekaligus penggaruk gitar. Aksi technical death metal yang mengagumkan, mereka bermain sangat enjoy dengan musik-musik mereka yang sangat rumit. Shogo memainkan jari-jarinya menyusuri fret gitar dari ujung ke ujung sambil growling dan sekali-sekali screaming. Daisuke memainkan bassnya seolah dia sedang bermain musik jazz, begitu enjoy. Sementara Yuichi sangat piawai dibelakang drumset yang sangat bejibun dengan aneka rack-tom dan simbal yang komplit. Oke, satu kata buat mereka, keren! 

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Hari kedua setelah melakukan perjalanan yang cukup lumayan, selama sekitar 6 jam dengan jalan darat, anak-anak Death Vomit satu mobil bersama para personil Desecravity menuju Tokyo. Setiba di Tokyo setelah beristirahat sejenak selama sekitar 4 jam, kemudian langsung menuju venue untuk melakukan soundcheck dan persiapan lanjutan konser Unlimited Black Air 2015 hari kedua. Seperti juga pada hari pertama di Osaka, kali ini masih tetap dengan disiplin tinggi dalam pengaturan jadwal acaranya. 

WildSide adalah lokasi venue hari kedua perhelatan tersebut, sebuah venue yang kabarnya sering digunakan band-band death metal kawakan, macam Vile, Kataklysm, Leng Tch’e, hingga Psycroptic dan Origin pernah main di sana. Sebuah venue di pusat kota Tokyo di wilayah Shinjuku, Tokyo. Merupakan venue yang menyenangkan bagi setiap band yang manggung di sana, karena kondisi venue yang cukup bagus baik sound-nya maupun suasana yang terbangun. Kru dan tehnisi lokal yang cukup terlatih, bahkan sesuatu yang luar biasa adalah sound enginer dan lighting control dipegang oleh dua wanita cantik yang sangat piawai mengatur dan menghandel segala peralatan yang ada. Anak-anak Death Vomit sempat terpana dan sempat nggak mau pulang ke Indonesia karenanya, haha… bercanda. 

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Dengan jadwal yang hampir sama dengan ketika di Osaka namun dengan band-band awal yang berbeda. Disiplin waktu dan rundown yang ketat tetap menjadi keharusan. Acara juga dimulai sama, yakni jam 5 sore (atau malam) di sana. Sedikit berbeda dengan situasi di Osaka, di Tokyo para penonton lebih terlihat “metal” dengan dandanan dan kaos-kaos yang mereka kenakan. Antusiasme penonton juga terlihat lebih “sangar”, membuat anak-anak Death Vomit menjadi sedikit “grogi”. Tapi apapun itu ini tetap menjadi pemacu semangat guys. 

Dibuka dengan Invictus, band death metal belia asal Nagano, Jepang. Membawakan beberapa lagu death metal karya mereka, mengalir begitu deras dan mulai menghangatkan para penonton. Dilanjutkan oleh Slut Needs of Kongamato, sebuah deathcore Japang yang cukup disambut hangat oleh para penonton. Giliran ketiga adalah Veiyadra, sebuah band beraliran brutal death metal asal Tokyo. Hentakan-hentakan kebrutalan mulai dirasakan di venue. Penonton mulai meliar membuat venue makin terasa sempit. Band ini telah meluncurkan satu album penuh berjudul Gehanna, maka tak heran jika beberapa penonton nampak familier dengan lagu-lagu mereka. 


 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Dessicate menjadi band sebelum Death Vomit tampil. Rombongan lima pemuda death metal mengocok panggung dengan lagu-lagu mereka. Namun kegarangan para personel Dessicate saat di panggung, berubah menjadi begitu ramah saat mengobrol dengan anak-anak Death Vomit selepas pentas, bahkan mereka memborong CD dan t-shirt Death Vomit yang sengaja dibawa dari Indonesia. Salam hangat bagi kalian. 

Kini giliran para penjahat Jogja menaiki panggung WildSide, jam menunjukkan sekitar pukul setengah delapan malam waktu Tokyo. Masih dengan setlist yang sama dengan saat manggung di Osaka. Dibuka dengan sound intro yang menggemuruh, penonton sudah mulai gelisah dan itu semua langsung dijejal dengan Evil Rise sebagai lagu pembuka. Seperti sudah diduga, sambutan penonton di Tokyo memang lebih liar dan sangar. Terikan dan sambutan selalu menggema sepanjang lagu dan pertunjukan. Bahkan yel-yel “Death Vomit…Death Vomit..” mereka teriakkan membuat merinding suasana. Hal itu diakui oleh Sofyan Hadi sang vocalis bahwa sambutan dan antusiasme penonton di Tokyo membuat merinding dan menggetarkan hati (ehemm..). Ini diiyakan pula oleh dua personel lainnya, Oki Haribowo dan Roy Agus. 

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Lagu demi lagu mengalir begitu perkasa di panggung WildSide hampir tanpa cela. Ini didukung pula oleh suasananya yang sangat “metal” di sana. Penontong terlihat begitu menikmati, beberapa orang melakukan moshing maupun sekedar headbang. Hingga lagu penghujung, Anthem to Hate selesai tanda aksi Death Vomit telah usai, terlihat para penonton masih belum puas dan meminta Death Vomit main lagi dan menambah lagu. Sempat bimbang juga anak-anak Death Vomit, namun mengingat waktu yang terus berjalan, masih ada Desecravity yang harus tampil maka terpaksa tidak dapat memenuhi keinginan metalhead Tokyo. Dan dilanjutkan Desecravity menuntaskan rangkaian acara Unlimited Black Air 2015 ini dengan sempurna. 

 courtesy of Damasus E. Rolling Stone Indonesia
Ada beberapa hal yang menarik di sana, pertama adalah ternyata beberapa metalhead di Jepang sudah tahu dan mengikuti perkembangan Death Vomit selama ini, bahkan ada yang datang membawa album lawas Death Vomit yang entah didapat dimana untuk dimintakan tanda tangan para personil Death vomit. Satu lagi adalah ketika ada satu metalhead asal California bernama Edward yang mengaku menonton acara ini karena ada Death Vomit, bahkan dia datang di konser di Osaka dan secara khusus datang lagi di Tokyo. Terima kasih Edward dan terima kasih para metalhead Jepang, Thank you very much. Semoga kita bisa berjumpa lagi tahun depan. (Corna Irawan)


SO....DEATH VOMIT....WHAT'S NEXT..???

Posting Komentar

0 Komentar